Selasa, 11 November 2008

Keadilan distribusi


KEADILAN DISTRIBUSI DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR DALAM EKONOMI ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

Krisis ekonomi merupakan krisis yang paling banyak dirasakan oleh masyarakat. Salah satu penyebabnya karena krisis ini menyentuh langsung kebutuhan dasar mereka baik pada aspek biologis maupun sosiologis. Sebetulnya perencanaan pembangunan di Indonesia banyak diarahkan pada pembangunan ekonomi, namun hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi semata. Pada kenyataannya lahirlah kesenjangan ekonomi dimana segelintir orang hidup dalam berkelimpahan, sementara sebagian besar masyarakat lainnya hidup dalam keadaan memperihatinkan. Mereka tidak mampu memenuhi hajat hidup sehari-hari[1].

Pemenuhan kebutuhan hidup manusia ini secara kualitas memiliki tahapan-tahapan pemenuhan. Berdasarkan teori Maslow, kebutuhan hidup itu berawal dari pemenuhan kebutuhan hidup yang bersifat kebutuhan dasar (basic needs), kemudian pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih tinggi kualitasnya seperti keamanan, kenyamanan dan aktualisasi. Namun perlu dipahami bahwa teori Maslow ini jelas merujuk pada pola pikir konvensional yang menggunakan perspektif individualistic-materialistik.

Meskipun terealisasi pemenuhan kebutan pokok, mungkin saja masih terjadi kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Kesenjangan-kesenjangan dalam masyarakat muslim diakui sepanjang penyebabnya adalah perbedaan dalam keterampilan, inisiatif, usaha, dan resiko[2]. Hal-hal tersebut akan didistribusikan secara normal dalam sebuah masyarakat, yang ajaran-ajaran Islam ditaati secara jujur. Kesenjangan yang terlalu melenceng tidak sesuai dengan ajaran Islam, yang menekankan bahwa sumber-sumber daya bukan saja karunia dari Allah SWT bagi semua manusia, melainkan juga sebagai amanah. Berdasarkan firman Allah SWT:


Artinya: Dia-lah (Allah) yang Menciptakan segala apa yang ada dibumi untukmu, kemudian Dia menuju kelangit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (Q.S.Al-Baqarah:29)

Dan surat al-Hadid ayat 7:

Artinya: Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia teah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang beriman diantara kamu dan menginfakkan (hartanya dijalan Allah) memperoleh pahala yang besar. ( Q.S. Al-Hadid: 7)


BAB II

PEMBAHASAN

  1. KEADILAN DISTRIBUSI

Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan distribusi dalam ekonomi kapitalis terfokus pada pasca produksi, yaitu pada konsekuensi proses produksi bagi setiap proyek dalam bentuk uang ataupun nilai, lalu hasil tersebut didistribusikan pada komponen-komponen produksi yang berandil dalam memproduksinya, yaitu empat komponen berikut:

1. Upah, yaitu upah bagi para pekerja, dan sering kali dalam hal upah, para pekerja diperalat desakan kebutuhannya dan diberi upah di bawah standar.

2. Bunga, yaitu bunga sebagai imbalan dari uang modal (interest on capital) yang diharuskan pada pemilik proyek.

3. Ongkos, yaitu ongkos untuk sewa tanah yang dipakai untuk proyek; dan

4. Keuntungan, yaitu keuntungan (profit) bagi pengelola yang menjalankan praktek pengelolaan proyek dan manajemen proyek, dan ia bertanggung jawab sepenuhnya.

Akibat dari perbedaan komposisi andil dalam produksi yang dimiliki oleh masing-masing individu, berbeda-beda pula pendapatan yang didapat oleh masing-masing individu. Islam menolak butir kedua dari empat unsur tersebut di atas, yaitu unsur bunga. Para ulama Islam telah sepakat dan lembaga-lembaga fiqih –termasuk MUI juga telah mengeluarkan fatwa– bahwa setiap bentuk bunga adalah riba yang diharamkan. Adapun ketiga unsur yang lain, Islam membolehkannya jika terpenuhi syarat-syaratnya dan terealisasi prinsip dan batasan-batasannya.

Sedangkan dalam ekonomi sosialis, produksi berada dalam kekuasaan pemerintah dan mengikuti perencanaan pusat. Semua sumber produksi adalah milik negara. Semua pekerja berada dalam kekuasaan dan rezim negara. Prinsip dalam distribusi pendapatan dan kekayaan adalah sesuai apa yang ditetapkan oleh rakyat yang diwakili oleh negara dan tidak ditentukan oleh pasar. Negara adalah yang merencanakan produksi nasional. Negara pula yang meletakkan kebijakan umum distribusi dengan segala macamnya baik berupa upah, gaji, bunga, maupun ongkos sewa.

Kaum sosialis mengecam masyarakat kapitalis karena di dalam masyarakat kapitalis kekayaan dan kemewahan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, sedangkan mayoritas masyarakat adalah kaum miskin. Mereka menaruh perhatian pada produksi barang-barang perelengkapan dan barang-barang mewah yang merealisasikan kaum kaya dengan keuntungan yang tinggi bagi para pemilik modal, produksi prabotan mewah, alat-alat kecantikan, dan berbagai macam barang kemewahan tanpa menaruh perhatian pada pemenuhan kebutuhan masyarakat luas yang kebanyakan dari kaum fakir

Dalam kekuasaan sistem kapitalis barlangsung praktek-praktek monopoli yang sangat besar dan mengerikan. Kadang kala menjadi perusahaan yang bergerak dalam berbagai macam jenis usaha samapai sebagian perusahaan tersebut menjadi sebuah negara dalam negara, yang tidak tunduk pada pemeintahan setempat. Bahkan memaksa pemerintahan setempat tunduk kepada kemauan dan kepentingan mereka dengan melakukan penyuapan secara jelas dan memuaskan. Dengan demikian tidak seorang pun yang dapat memaksa mereka membuat suatu jenis produksi dan menentukkan jumlah keuntungan karena mereka sendiri yang mengatur dan menentukkan produksi dan harga.

Ekonomi Islam terbebas dari kedua kedhaliman kapitalisme dan sosialisme. Islam membangun filosofi dan sistemnya di atas pilar-pilar yang lain, yang menekankan pada distribusi para produksi, yaitu pada distribusi sumber-sumber produksi, di tangan siapa kepemilikannya. memperlihatkannya juga sebagaimana kita lihat dalam perhatiannya terhadap pemenuhan hak-hak pra pekerja dan upah mereka yang adil setimpal dengan kewajiban yang telah mereka tunaikan. Distribusi dalam ekonomi Islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting yaitu: nilai kebebasan dan nilai keadilan[3].

1. Nilai kebebasan

Kebebasan dalam melakukan aktivitas ekonomi harus dilandasi keimanan kepada Allah dan ke-Esaan-Nya serta keyakinan manusia kepada Sang Pencipta. Allah-lah yang menciptakan dan Dia pula yang mengatur segala urusan sehingga sehingga tidak layak lagi bagi manusia untuk menyombongkan diri serta bertindak otoriter kepada mahluk lainnya. Kebebasan manusia adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupannya. Seorang yang terbelenggu tidak akan produktif. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk berusaha, memiliki, mengelola dan membelanjakan hartanya sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah.

2. Nilai keadilan

Kebebasan dalam tidak bersifat mutlak. Oleh karena itu meskipun seseorang diperbolehkan memiliki namun ada ketentuan batasannya atau aturan dalam memperoleh, mengembangkan dan mengkonsumsi harta yang dimilinya. Islam juga mewajibkan tiap orang untuk mengeluarkan bagian tertentu dari harta yang dimilikinya, karena pada dasarnya manusia sangat senang mengumpulkan harta sehingga dalam pembelanjaan hartanya terkadang ia berlaku boros dan bersifat kikir. Karena itu Islam memberikan perhatian mengenai keadilan dan larangan berbuat dzalim. Distribusi pendapatan jika dalam pendistribusiannya dilakukan dengan dengan tidak adil maka akan menimbulkan keresahaan dan protes dari pemilik factor produksi. Oleh karena itu pembagian pendapatan harus diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.

Dalam perekonomian modern saat ini, tidak dapat di pungkiri lagi bahwa sector distribusi merupakan sector terpenting dalam aktivitas ekonomi. Muhammad Anas Zarqa mengungkapkan ada beberapa factor yang menjadi dasar distribusi, yaitu tukar menukar (exchange), kebutuhan (need), kekuasaan (power), system social dan nilai etika (social system and ethical values)[4].

Anas Zarqa melihat begitu pentingnya memelihara kelancaran distribusi ini, agar tercipta sebuah perekonomian yang dinamis, adil, dan produktif. Dalam Islam penjaminan kelancaran distribusi ini sudah disistemkan melalui prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan syariah. Contoh yang sangat jelas dari urgensi distribusi dalam Islam adalah eksistensinya mekanisme zakat dalam ekonomi, dan jual beli yang diatur oleh syariah.

Penekanan Islam pada distribusi yang adil sangat tegas sehingga sebagian kaum muslimin ada yang berpendapat bahwa kesetaraan kesayangan sangat penting dalam sebuah masyarakat muslim. Abu Dzar, seorang sahabat Rasulullah SAW, berpendapat, “tidak benar seorang muslim memiliki kekayaan melebihi kebutuhan keluarganya”[5]. Namun, mayoritas sahabat tidak sepakat dengan pendapatnya yang ekstrem. Sebenarnya Abu Dzar bukanlah penyeru persamaan pendapatan (yang bersifat mengalir). Ia mendukung akumulasi kekayaan. Menurutnya hal ini dapat dicapai jika semua kelebihan (surplus) dari kebutuhan pokok (al-afwu) dibelanjakan oleh orang-orang kaya untuk meningkatkan kesejahteraan saudara mereka yang bernasib kurang beruntung. Jumhur ulama berpendapat, jika pola perilaku social dan perekonomian disusun menurut ajaran-ajaran Islam, maka tidak akan ada kesenjangan kekayaan yang ekstreem dalam sebuah masyarakat muslim.

  1. KEADILAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR

Dalam prespektif Islam kebutuhan ditentukan oleh konsep maslahah (kesejahteraan). Konsep kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari kajian prilaku konsumen dari kerangka maqasid syari’ah (tujuan syariah). Tujuan syariah harus dapat menentukan tujuan prilaku konsumen dalam Islam. Tujuan syariah Islam adalah tercapainya kesejahteraan umat manusia (maslahah al-‘ibad). Oleh karena itu, semua barang dan jasa yang memiliki maslahah akan dikatakan menjadi kebutuhan manusia[6].

Pemenuhan kebutuhan hidup manusia ini secara kualitas memiliki tahapan-tahapan pemenuhan. Berdasarkan teori Maslow, kebutuhan hidup itu berawal dari pemenuhan kebutuhan hidup yang bersifat kebutuhan dasar (basic needs), kemudian pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih tinggi kualitasnya seperti keamanan, kenyamanan dan aktualisasi. Namun perlu dipahami bahwa teori Maslow ini jelas merujuk pada pola pikir konvensional yang menggunakan perspektif individualistic-materialistik.

Sementara dalam Islam tahapan pemenuhan kebutuhan hidup dari seseorang atau individu boleh jadi memang seperti yang Maslow gambarkan, tapi perlu dijelaskan lebih detil bahwa pemuasan kebutuhan hidup setelah tahapan pertama (pemenuhan kebutuhan dasar) akan dilakukan ketika memang secara kolektif kebutuhan kebutuhan dasar tadi sudah pada posisi yang aman. Artinya masyarakat luas (umat) sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga tidak akan ada implikasi negatif yang nanti muncul akibat pemenuhan kebutuhan dasar kolektif tadi yang belum sempurna terwujud. Jadi diperlukan peran suatu otoritas atau negara dalam memastikan itu semua.

Selain itu perlu dipahami juga bahwa parameter kepuasan Islam bukan hanya terbatas pada benda-benda konkrit (materi), tapi juga tergantung pada sesuatu yang bersifat abstrak, seperti amal shaleh yang manusia perbuat. Atau dengan kata lain, bahwa kepuasan dapat timbul dan dirasakan oleh seorang manusia muslim ketika harapan mendapat kredit poin (pahala) dari Allah SWT melalui amal shalehnya semakin besar. Pandangan ini tersirat dari bahasan ekonomi yang dilakukan oleh Hasan Al Banna. Beliau mengungkapkan firman Allah yang mengatakan:.

Artinya :“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (QS. Lukman: 20)

Menurut Syatibi, maslahah sangat tepat untuk diterapkan , maslahah adalah pemilikan atau kekuatan barang/jasa yang mengandung elemen-elemen dasar dan tujuan kehidupan umat manusia didunia ini. Syatibi membedakan maslaha menjadi tiga, yaitu:

  1. Dharuriyat, dimaksudkan untuk memelihara lima unsure pokok dalam kehidupan manusia, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
  2. Hajiyat, dimaksud untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsure pokok menjadi lebih baik.
  3. Tahsiniyat, dimaksudkan agar agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsure pokok tersebut.[7]

Lebih jauh khallaf mengatakan, “yang terpenting dari tiga tujuan pokok itu adalah dharuriyat dan wajib dipelihara. Hajiyat boleh ditinggalkan apabila memliharanya merusak hokum dharuriyat, dan tahsiniyat boleh ditinggalkan apabila dalam menjaganya merusak hokum dharuriyat dan tahsiniyat.

Jadi semua barang dan jasa yang memiliki kekuatan untuk memenuhi lima elemen pokok (dharuriyat) telah dapat dikatakan memiliki maslahah bagi umat manusia. Semua kebutuhan adalah tidak sama penting. Kebutuhan memiliki tiga tingkatan yaitu[8]:

  1. Tingkat dimana lima elemen (dharuriyat) dilindungi secara baik
  2. Tingkat dimana perlindungan lima elemen (dharuriyat) dilengkapi untuk memperkuat perlindungannya.
  3. Tingkat dimana lima elemen (dharuriyat) secara sederhana diperoleh secara baik.

Semua barang dan jasa yang memiliki kekuatan, atau kualitas untuk melindungi, menjaga dan memperbaiki, atau salah satu daripadanya terhadap lima elemen pokok, maka barang dan jasa tersebut memiliki maslahah.

Konsep kebutuhan dasar dalam Islam ini sifatnya tidak statis, artinya kebutuhan dasar pelaku ekonomi bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Sehingga dapat saja pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu lebih dikonsumsi akibat motifasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan. Jadi parameter yang membedakan definisi kebutuhan dan keinginan ini (sekali lagi) tidak statis, ia bergantung pada kondisi perekonomian serta ukuran kemashlahatan. Dengan standar kamashlahatan konsumsi barang tertentu dapat saja dinilai kurang berkenan ketika sebagian besar ummat atau masyarakat dalam keadaan susah[9].



[1] Edo Segara, Konsep Pembangunan Ekonomi Prsepektif Ekonomi Islam, Artikel yang diakses melalui (dakwah) fe unad, KAMMI. Or.id, 08 Desember 2007

[2] M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, ( Jakarta: GIP , 2006) hal, 214

[3] Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, ( Yogyakarta, BPFE Yogyakarta: 2004) hal 317-320

[4] Ali Sakti, Analisis Toeritis Ekonomi Islam, Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern, (Jakarta: Paradigma & Aqsa Publishing, 2007), hal 144

[5] M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, ( Jakarta: GIP , 2006) hal, 214-215

[6] Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, ( Yogyakarta, BPFE Yogyakarta: 2004) hal 152

[7] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta, Pustaka Asatruss: 2007) hal, 209

[8] Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, ( Yogyakarta, BPFE Yogyakarta: 2004) hal 153-154

[9] Ali Sakti, Analisis Toeritis Ekonomi Islam, Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern, (Jakarta: Paradigma & Aqsa Publishing, 2007), hal 115

1 komentar:

Daus's mengatakan...

apakah distribusi dinegara kita udah merata?
tetapi kenyataannya, yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin.