Selasa, 11 November 2008

Analisis Fatwa DSN tentang Asuransi

  1. Analisis Fatwa DSN tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah (No:21/DSN-MUI/X/2001)

Lahirnya asuransi syariah dilatar belakangi oleh adanya keraguan umat
Islam terhadap produk asuransi konvensional yang selama ini disinyalir
mengandung unsur gharar, maysir, dan riba yang bertentangan dengan syariat
agama Islam. Mengingat asuransi syariah masih belum memiliki payung hukum
yang kuat sebagai dasar pijakan dalam menjalankan operasional kegiatannya, oleh
karena itu selain menggunakan Fatwa Dewan Syariah, asuransi syariah masih
tetap menggunakan Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian, meskipun undang-undang tersebut belum bisa meng-cover seluruh
kegiatan asuransi syariah. Asuransi syariah menghilangkan unsur gharar, maysir,
dan riba dengan cara menerapkan beberapa akad dan prinsip yang dibenarkan
secara syar’i. Akad yang digunakan dalam asuransi syariah terdiri dari akad
tijarrah dan akad tabarru. Asuransi syariah juga menerapkan konsep ta’awun
untuk membantu peserta yang mengalami musibah melalui mekanisme dana
tabarru. Dimana asuransi syariah memiliki beberapa karateristik yang
membedakannya dengan asuransi konvensional salah satunya adalah dengan
adanya Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi mengawasi prinsip operasional
yang digunakan, produk yang ditawarkan dan kebijakan investasi yang dilakukan
oleh manajemen asuransi takaful (syariah).

Adapun prinsip-prinsip yang mendasari legalitas Asuransi Syariah, diantaranya:

a) Perintah Allah Swt. untuk mempersiapkan hari depan.

Firman Allah Swt, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa [04]: 09)

b) Perintah saling tolong menolong

Firman Allah Swt, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah [5]: 2).

Ulama menanggapi berbeda mengenai status hukum dari kegiatan asuransi konvensional, ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Adapun ulama yang membolehkan di antaranya; Syekh Abdur Rahman Isa dan Prof. Dr. Muhammad al-Bahi , guru besar Universitas Al-Azhar, Prof. Dr. Muhammad Yusuf, guru besar universitas Kairo, Syekh Abdul Wahab Khallaf, guru besar hukum Islam Universitas Kairo, Bahjah Hilmi, penasihat pengadilan tinggi Mesir, Syekh Muhammad Dasuki, Dr. Muhammad Najatullah Shiddiqi, dosen Universitas King Abdul Aziz, Syekh Muhammad Ahmad, pakar ekonomi dari Pakistan, Syekh Muhammad al-Madhani, dan Prof. Dr. Musthafa Ahmad al–Zarqa, guru besar Universitas Syiria.

Para ulama di atas umumnya beranggapan bahwa asuransi adalah kreasi praktik baru, yang sebelumnya tidak ditemukan dengan tujuan untuk saling tolong menolong. Asuransi merupakan bentuk perkongsian (koperasi) yang dibenarkan dalam Islam, selama tidak mempraktikkan riba.

  1. Analisis Fatwa DSN tentang Asuransi Haji (No:39/DSN-MUI/X/2002)

Berdasarkan Fatwa DSN-MUI No. 39/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji telah ditetapkan bahwa akad yang dipakai dalam pengelolaan dana premi jamaah haji adalah akad tabarru’ (hibah) yang bertujuan untuk menolong sesama jama’ah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan antara jamaah haji sebagai pemberi tabarru dengan (perusahaan) asuransi syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah. Pemegang polis induk dari seluruh jamaah haji adalah Menteri Agama yang bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Isi fatwa tersebut perlu di-review paling tidak menyangkut 2 (dua) hal : Pertama, mengenai besarnya ujrah atau fee yang tidak disebutkan secara jelas angkanya. Dalam Ketentuan Khusus hanya disebutkan bahwa asuransi syariah berhak memperoleh ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar. Kedua, menyangkut surplus underwriting atau surplus operasional yang dalam hal ini adalah menjadi hak jamaah haji namun pengelolaannya diamanatkan kepada Menteri Agama sebagai pemegang polis induk untuk kemaslahatan umat.

Pertama soal besarnya ujrah yang hanya berpatokan pada “prinsip adil dan wajar”. Keadilan dan kewajaran ini tentu saja menjadi relatif apalagi karena asuransi haji ini tetap dikelola oleh perusahaan asuransi yang bersifat komersial dan ditenderkan diantara sekian puluh perusahaan asuransi sehingga peserta tender tentu saja sudah memperhitungkan komponen profit di dalam penawarannya. Apakah jika kemudian perusahaan asuransi syariah menetapkan ujrah sebesar 40% dari premi per nasabah atau dari total premi terkumpul telah dianggap mengikuti “prinsip adil dan wajar” ?. Bisa jadi dari kacamata jamaah haji, angka 40% fee atau ujrah itu terlalu besar sehingga bisa saja dari aspek keridhaan, transaksi asuransi inipun tidak memenuhi syarat “saling rela diantara kalian” (‘an taradhin minkum) sehingga hukumnya menjadi cacat. Oleh karena itu fatwa tentang asuransi haji semestinya memasukkan angka persentase ujrah ini secara jelas sehingga perusahaan asuransi syariah sebagai pengelola dana premi jamaah haji tidak memberlakukan pemotongan premi ini sesuai keinginan sendiri.

Kedua adalah menyangkut surplus operasional atau dalam hal ini adalah kelebihan sisa dana premi setelah dikurangi fee (ujrah) dan pembayaran klaim. Sebelum membahas alokasi sisa dana premi ini akan dikemanakan terdapat kontroversi yang sukup menarik ketika seorang direktur perusahaan asuransi syariah di tahun 2005 mempermasalahkan “penyimpangan” praktek pengelolaan dana asuransi haji oleh sebuah perusahaan asuransi pemenang tender di kala itu. Beliau menyampaikan bahwa selain memperoleh ujrah atau fee, perusahaan asuransi tersebut masih juga mengambil sisa dana premi atau surplus operasional yang dalam hal ini berbagi (melakukan surplus sharing) dengan DAU (Dana Abadi Umat) Departemen Agama. Menurut beliau, dana tersebut tidak selayaknya diambil oleh perusahaan asuransi namun harus dikembalikan kepada jamaah haji, karena uang itu adalah hak mereka. Pendapat ini kemudian diperkuat oleh salah satu pengurus DSN-MUI yang menyatakan bahwa dana tersebut harus dikembalikan kepada jamaah haji berdasarkan fatwa MUI. Sementara dari perusahaan asuransi pemenang tender menyatakan bahwa surplus sharing itu sudah sesuai dengan prinsip syariah dengan memberikan argumen bahwa berdasarkan kebiasaan yang berlaku di bisnis asuransi syariah, 40% dari dana digunakan untuk biaya operasional, 55% dibayarkan sebagai biaya klaim bagi jamaah yang terkena musibah, dan 5% sisanya diinvestasikan secara syariah. Hasil investasi tersebut yang kemudian di-share dengan Depag berdasarkan nisbah bagi hasil 70% : 30%.

  1. Analisis Fatwa DSN tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah (No:51/DSN-MUI/III/2006)

Mudharabah berasal dari kata dharb yang artinya memukul atau berjalan. Istilah ini biasa dipakai oleh penduduk Irak, sementara penduduk Hijaz lebih suka menggunakan istilah qirodh atau muqaradhah. Dalam kaitannya dengan muamalah, kata dharb disini lebih tepat diartikan pada proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Sedangkan secara teknis, mudharabah didefinisikan sebagai akad kerja sama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan 100% modal sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Apabila dalam usahanya diperoleh keuntungan (profit) maka keuntungan tadi kemudian dibagi antara shahibul maal dan mudharib dengan prosentase nisbah atau rasio yang telah disepakati sejak awal perjanjian/kontrak. Sedangkan apabila usaha tersebut merugi maka kerugian tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak shahibul maal sepanjang hal itu disebabkan oleh risiko bisnis (bussiness risk) dan bukan karena kelalaian mudharib (character risk).

Akad mudharabah ini berbeda dengan sistem bunga (interest) mengingat sifat pengembalian (return) yang tidak pasti baik dari segi jumlah maupun segi waktu sehingga akad ini dikategorikan sebagai Natural Uncertainty Contract (NUC). Dalam bahasa lain, produk ini disebut juga dengan Trust Financing atau Trust Investment karena kontrak ini hanya diberikan kepada pengusaha yang benar-benar credible dan sudah teruji amanahnya. Secara skematis, akad mudharabah dapat digambarkan sebagai berikut :

  1. Analisis Fatwa DSN tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi dan Reasuransi Syariah(No:52/DSN-MUI/III/2006)

Dalam Fatwa DSN-MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syariah, di Bagian 4 (Empat) poin terakhir disebutkan bahwa “Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi karena akad yang digunakan adalah akad wakalah.” Kalimat ini secara jelas memberikan pengertian kepada kita bahwa dalam mengelola investasi, pihak operator takaful tidak dibenarkan untuk mendapatkan porsi apapun dari hasil investasi selain berupa fee atau ujrah. Itupun harus ditetapkan dalam jumlah yang sewajarnya alias tidak berlebihan dan telah mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari peserta takaful.

Namun sepertinya ketentuan yang tercantum pada Bagian 4 (Empat) dari fatwa DSN tersebut menjadi kontraproduktif apabila kita menelusuri bagian selanjutnya, yaitu pada Bagian 5 (Lima) yang mengatur tentang Investasi. Di poin 2 (Dua) Bagian 5 (Lima) dijelaskan sebagai berikut : “Dalam pengelolaan dana/investasi, baik dana tabarru’ maupun saving, dapat digunakan akad Wakalah bil Ujrah dengan mengikuti ketentuan seperti di atas, akad Mudharabah dengan mengikuti fatwa Mudharabah, atau akad Mudharabah Musytarakah dengan mengikuti ketentuan fatwa Mudharabah Musytarakah.”

Isi penjelasan Bagian 5 tersebut jika kita konfrontasikan dengan Bagian 4 terdapat ketidaksinkronan menyangkut hak operator takaful atas dana investasi peserta. Di Bagian 4 terdapat pembatasan “ruang gerak” operator takaful dengan melarangnya untuk mengambil dana investasi plus hasil investasi milik peserta, sementara dalam Bagian 5, ruang kebebasan hak operator yang telah “diikat” tadi menjadi “terbuka” kembali dengan adanya peluang untuk mengaplikasikan akad-akad lain selain wakalah. Sebagai gambaran umum, akad mudharabah merupakan bentuk akad yang bersifat bisnis (for profit transaction) yang memungkinkan pihak operator untuk mendapatkan bagian atau porsi tertentu, baik dari hasil investasi (melalui profit sharing) maupun dari surplus underwriting (melalui surplus sharing) dengan menetapkan nisbah tertentu yang disepakati, misalnya 60:40 atau 70:30. Sehingga dalam hal ini terdapat kemungkinan bagi operator untuk menerapkan 2 (dua) akad sekaligus, yaitu akad Wakalah bil Ujrah + Akad Mudharabah atau Wakalah bil Ujrah + Mudharabah Musytarakah.

  1. Analisis Fatwa DSN tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi Syariah(No:53/DSN-MUI/III/2006)

Tabbaru berasal dari kata tabarraa yang artinya derma. Orang yang berderma disebut mutabarri (dermawan). Dalam Al-Quran, kata tabarru merujuk pada kata al-birr (kebajikan) sebagaimana firman Allah SWT, Bukanlah menghadap wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan (memerdekakan) hamba sahayanya, mendirikan shalat dan orang-orang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 177). Akad tabarru (gratuitous contract) merupakan bentuk transaksi atau perjanjian kontrak yang bersifat nir-laba (not-for profit transaction) sehingga tidak boleh digunakan untuk tujuan komersial atau bisnis tetapi semata-mata untuk tujuan tolong-menolong dalam rangka kebaikan. Pihak yang meniatkan tabarru tidak boleh mensyaratkan imbalan apapun. Bahkan menurut Dr. Yusuf Qardhawi, dana tabarru ini haram untuk ditarik kembali karena dapat disamakan dengan hibah.

Implementasi akad tabarru dalam sistem asuransi syariah direalisasikan dalam bentuk pembagian setoran premi menjadi dua. Untuk produk yang mengandung unsur tabungan (saving), maka premi yang dibayarkan akan dibagi ke dalam rekening dana peserta dan satunya lagi rekening tabarru. Sedangkan untuk produk yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving), setiap premi yang dibayar akan dimasukkan seluruhnya ke dalam rekening tabarru. Keberadaan rekening tabarru menjadi sangat penting untuk menjawab pertanyaan seputar ketidakjelasan (ke-gharar-an) asuransi dari sisi pembayaran klaim. Misalnya, seorang peserta mengambil paket asuransi jiwa dengan masa pertanggungan 10 tahun dengan manfaat 10 juta rupiah. Bila ia ditakdirkan meninggal dunia di tahun ke-empat dan baru sempat membayar sebesar 4 juta maka ahli waris akan menerima sejumlah penuh 10 juta. Pertanyaannya, sisa pembayaran sebesar 6 juta diperoleh dari mana. Disinilah kemudian timbul gharar tadi sehingga diperlukan mekanisme khusus untuk menghapus hal itu, yaitu penyediaan dana khusus untuk pembayaran klaim (yang pada hakekatnya untuk tujuan tolong-menolong) berupa rekening tabarru.

Selanjutnya, dana yang terkumpul dari peserta (shahibul maal) akan diinvestasikan oleh pengelola (mudharib) ke dalam instrumen-instumen investasi yang tidak bertentangan dengan syariat. Apabila dari hasil investasi diperolah keuntungan (profit), maka setelah dikurangi beban-beban asuransi, keuntungan tadi akan dibagi antara shahibul maal (peserta) dan mudharib (pengelola) berdasarkan akad mudharabah ( bagi hasil ) dengan rasio (nisbah) yang telah disepakati di muka.

Tidak ada komentar: