Minggu, 23 Agustus 2009

MEKANISME PASAR DAN REGULASI HARGA DALAM PRESPEKTIF EKONOMI ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

Islam adalah cara hidup yang imbang dan koheren, dirancang untuk kebahagiaan manusia dengan cara menciptakan keharmonisan antara kebutuhan moral dan material manusia dan aktualisasi keadilan sosio-ekonomi serta persaudaraan antar umat manusia. Islam sebagai agama akhir jaman juga membawa penuntun lengkap bagi pemeluknya. Berbagai aspek kehidupan dalam kesehariannya termaktub dalam syari’ah dan mu’amalah, mengikutinya merupakan perjalanan yang harus ditempuh untuk menjadi Muslim sejati. Dualisme antara kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat yang menjadi pertanyaan beberapa agama bukan masalah lagi. Permasalah itu telah terjawab oleh hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan, “Berusahalah untuk duniamu seakan engkau hidup untuk selamanya, tapi persiapkanlah akhiratmu seeakan engkau akan mati besok”.
Sebagai agama yang komprehensif tentunya aktivitas ekonomi sebagai kegiatan vital kemanusiaan tidak luput dari perhatian. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 275


Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Al-Baqarah:275)




Artinya: Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) karena Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS Al-Qashash : 77).
Ayat-ayat tersebut merupakan sebagian dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang merujuk pada aktivitas ekonomi.
Sesuai dengan kaidah ushul fiqih, dalam masalah ibadah, hokum asal sesuatu adalah terlarang, kecuali ada dalil yang membolehkannya. Sedangkan dalam masalah muamalat, hokum asal sesuatu adalah boleh, kecuali ada dalil yang melarangkannya.
Dengan demikian berdasarkan syariah Islam, pada prinsipnya segala bentuk perikatan adalah diperbolehkan kecuali ada nash yang melarangnya. Perikatan-perikatan yang berkaitan dengan kerjasama usaha, jual-beli, investai, utang-piutang, pinjam-meminjam, dan sebagainya, boleh dilaksanakan oleh seorang muslim dengan anggota masyarakat yang lainnya, sepanjang dalam perikatan tersebut tidak terapat hl-hal yang dilarang.
Menurut Imam Yahya bin Umar , aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketaqwaan seorang muslim kepada Allah SWT. Hal ini merupakan asas dalam perekonomian Islam, sekaligus factor utama yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional.
Pembahasan mengenai struktur pasar menjadi penting dalam ekonomi Islam, karena dalam konsep ekonomi Islam, penentuan harga didasarkan atas kekuatan-kekuatan pasar yaitu kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran. Sebagaimana Rasulullah SAW sangat menghargai harga yang dibentuk oleh pasar sebagai harga yang adil, sehingga beliau menolak adanya suatu intervensi pasar apabila perubahan harga yang terjadi karena mekanisme harga yang wajar. Dengan demikian, Islam menjamin pasar bebas di mana produsen dan konsumen bersaing satu sama lain dengan arus informasi yang berjalan lancar dalam kerangka keadilan, yakni tidak ada (baik individu maupun kelompok produsen, konsumen, dan pemerintah) yang zalim atau dizalim.
Pasar adalah jantung perekonomian bangsa. Maju mundurnya perekonomian sangat bergantung kepada kondisi pasar. Ia mempertemukan pihak penjual dan pembeli, untuk melakukan transaksi atas barang dan jasa (supply dan demand). Al-Ghozali dalam kitab ihya’ menjelaskan tentang sebab timbulnya pasar “Dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun, secara alami mereka akan saling memenuhi kebutuhan maisng-masing. Dapat saja terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat enyimpanan alat-alat di satu pihak, dan penyimpanan hasil pertanian di pihak lain. Tempat inilah yang kemudian didaatangi pembeli sesuai kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar

BAB II PEMBAHASAN

A. Mekanisme Pasar dan Regulasi Harga Dalam Ekonomi Konvensional
1. Penentuan Harga
Harga sesuatu barang dan jumlah barang yang diperjualbelikan ditentukan oleh permintaan dan penawaran barang tersebut. Oleh karena itu, untuk menganalisis mekanisme penentuan harga dan jumlah barang yang diperjualbelikan, secara serentak perlulah dianalisis permintaan dan penawaran terhadap suatu barang tertentu yang wujud di pasar. Keadaan di suatu pasar dikatakan dalam keseimbanga atau ekuilibrium apabila jumlah yang ditawarkan para penjual pada suatau barang tertentu adalah sama dengan jumlah yang diminta para pembeli pada harga tersebut. Dengan demikian harga suatu barang dan jumlah barang yang diperjualbelikan dapat ditentukan dengan melihat keadaan keseimbangan dalam suatu pasar.
2. Harga dan Permintaan
Dalam hukum permintaan dijelaskan sifat hubungan antara permintaan suatu barang dengan tingkat harganya. Hukum permintaan pada hakikatnya menyatakan: makin rendah harga suatu barang maka makin banyak permintaan terhadap barang tersebut. Sebaliknya, makin tinggi harga suatu barang maka makin sedikit permintaan terhadap barang tersebut, sesuai dengan kurva di bawah ini.

Mengapa bisa seperti itu?Alasan pertama, karena kenaikan harga menyebabkan para pembeli mencari barang lain yang dapat digunakan sebagai pengganti barang yang mengalami kenaikan harga tersebut. Sebaliknya, apabila harga turun maka orang mengurangi pembelian terhadap barang lain yang sama jenisnya dan menambah pembelian terhadap barang yang mengalami penurunan harga. Alasan kedua, kenaikan harga menyebabkan pendapatan riil para pembeli berkurang. Pendapatan yang merosot tersebut memaksa para pembeli untuk mengurangi pembeliannya terhadap berbagai jenis barang dan terutama barang yang mengalami kenaikan harga.
3. Harga dan Penawaran
Dalam hukum penawaran dinyatakan bahwa makin tinggi harga suatu barang, semakin banyak jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh para penjual. Sebaliknya, makin rendah harga suatu barang semakin sedikit jumlah barang tersebut yang ditawarkan, sesuai dengan kurva di bawah ini.

4. Mekanisme Pasar
Dalam kondisi keseimbangan, kedua kurva diatas (permintaan dan penawaran) akan berpotongan pada suatu titik tertentu. Pada gambar kurva diatas terlihat bahwa pada harga P2, jumlah barang yang ditawarkan sama dengan jumlah barang yang diminta yakni sebesar Q1. Mekanisme pasar adalah kecenderungan dalam pasar dimana harga barang terus berubah sampai tercapai posisi keseimbangan (jumlah barang yang diminta = jumlah barang yang ditawarkan). Pada titik keseimbangan tersebut (titik E), tidak terjadi kelebihan maupun kekurangan dalam jumlah barang sehingga tidak ada tekanan pada harga untuk berubah lagi.



B. Mekanisme Pasar dan Regulasi Harga Dalam Ekonomi Islam
1. Definisi Pasar dan Pembentukannya
Pasar atau Market adalah tempat dimana pembeli dan penjual barang tertentu berhubungan satu sama lain dan dimana terjadi hubungan tukar-menukar.
Al-Ghozali dalam kitab ihya’ menjelaskan tentang sebab timbulnya pasar “Dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun, secara alami mereka akan saling memenuhi kebutuhan maisng-masing. Dapat saja terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak, dan penyimpanan hasil pertanian di pihak lain. Tempat inilah yang kemudian didatangi pembeli sesuai kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar
2. Mekanisme Pasar Dalam Pandangan Ulama Islam
Abu Yusuf dalam kitab al-Kharraj, menyatakan bahwa “tidak ada batasan tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan oleh kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah. Terkadang makanan berlimpah tetapi tetap mahal, dan terkadang makan sangat sdikit tetapi murah.”
Dari pernyataan tersebut, Abu Yusuf tampaknya menyangkal pendapat umum mengenai hubungan terbalik antara penawaran dan harga. Pada kenyataannya, harga tidak bergantung pada penawaran saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan permintaan. Karena itu, peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan penurunan atau peningkatan dalam produksi.
Abu Yusuf menegaskan bahwa ada beberapa variable lain yang mempengaruhi harga, tetapi dia tidak menjelaskan secara lebih rinci. Bisa jadi, variable itu adalah pergesaran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar disuatu Negara, atau penimbunan dan penahanan barang.
Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah “naik dan turunnya harga tak selalu berkait dengan kezaliman (zulm) yang dilakukan seseorang. Sesekali, alasannya adalah adanya kekurangan dalam produksi atau penurunan impor dari barang-barang yang iminta. Jadi, jika membutuhkan peningkatan jumlah barang, sementara kemampuannya menurun, harga dengan sendirinya akan naik. Di sisi lain, jika kemampuan penyediaan barang menigkat dan permintaannya menurun, harga akan turun. Kelangkaan dan kelimpahan tak mesti diakibatkan oleh perbuatan seseorang. Bisa saja berkaitan dengan sebab yang tak melibatkan ketidakadilan. Atau, sesekali, bisa juga disebabkan ketidak adilan. Maha Besar Allah, yang menciptakaan kemauan pada hati manusia.
Ungkapan ini menunjukkan bahwa ada kebiasaan yang berlaku di zaman ibnu Taimiyah bahwa kenaikan harga seringkali diakibatkan oleh ketidakadilan para pelaku pasar. Pandangan ini ditolak oleh ibnu Taimiyah dengan mengungkapkan bahwa kenaikan harga tidak selamanya disebabkan zulm (ketidakadilan). Ada factor lain yang mempengaruhinya yakni kekuatan pasar antara supply dan demand.
Dalam kitab Fatawa. Ibnu taimiyah menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan: (ekonomi Islam) dan konsekuensinya terhadap harga:
a. Ar-Raghabah (keinginan) atas barang-barang berbeda dan seringkali berubah. Hal ini turut dipengaruhi oleh berlimpah atau langkanya suatu barang. Semakin langka semakin ia diminati oleh masyarakat.
b. Jumlah orang yang meminta. Semakin banyak orang yang meminta dalam satu jenis barang dagangan, maka semakin mahal harga barang
c. Kuat atau lemahnya permintaan. Kebutuhan tinggi dan kuat, harga akan naik lebih tinggi ketimbang jika peningkatan kebutuhan itu kecil atau lemah
d. Kualitas pembeli (al-mu’awid). Harga juga berubah-rubah, sesuai dengan siapa saja transaksi tersebut dilakukah. Pembeli yang memiliki kredibilitas yang buruk, sering bankrut, mengulur-ulur pembayaran akan mendaoatkan harga yang lebih tinggi dari pembeli yang memiliki predikat baik.
e. Jenis uang yang digunakan. Harga juga dipengaruhi oleh bentuk alat pembayaran (uang) yang digunakan dalam jual beli. Jika yang digunakan adalah naqd raji, harga akan lebih rendah ketimbang membayar dengan uang yang jarang ada di peredaran
f. Hal diatas dapat terjadi karena tujuan dari suatu transaki harus menguntungkan penjual dan pembeli. Jika pembeli memiliki kemampuan untuk membayar dan dapat memenuhi janjinya, maka transaksi akan lebih mudah/lancer
g. Aplikasi yang sama berlaku bagi sesorang yang meminjam atau menyewa. Adanya biaya tambahan akan mengakibatkan perubahan harga. Menyewa tanah dalam kondisi banyaknya perampok atau hewan liar akan menambah beban bagi penyewa, sehingga harga sewa lebih rendah dibanding tanah yang tidak membutuhkan biaya tambahan
3. Regulasi Harga
Penetapan (regulasi) harga dikenal dalam dunia fiqih dengan istilah tas’ir yang berarti, menetapkan harga tertentu pada barang-barang yang dperjualbelikan dimana tidak mendzalimi pemilik barang dan pembelinya.
Dalam konsep ekonomi Islam penentuan harga dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pasar yaitu kekuatan permintaan dan penawaran. Dalam konsep Islam, pertemuan permintaan dengan penawaran tersebut haruslah terjadi secara rela sama rela, dalam artian tidak ada pihak yang terpaksa untuk melakukan transaksi pada tingkat harga tertentu. Keadaan rela sama rela merupakan kebalikan dari keadaan aniaya yaitu keadaan dimana salah satu pihak senang diatas kesedihan pihak lainnya. Dalam hal harga, para ahli fiqih merumuskannya sebagai the price of the equivalent (Tsamanul Mitsly), sesuai dengan teks arab:


Artinya: Pada dasarnya praktek perekonomian dalam Islam tidak ada tas’ir (penetapan harga). Para ulama membahas tentang masalah ini dan mereka saling bersandar hokum terhadap sesuatu karena adanya perbedaan diantara mereka ada yang membolehkan tas’ir dan sebagian lagi ada yang membolehkan tetapi tidak mutlak.
Perbedaan pandangan tentang regulasi harga bersumber pada perbedaan penafsiran terhadap hadits nabi yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Dia berkata:




Artinya: Dari Annas bin Malik ra, beliau berkata: Harga-harga barang pernah mahal pada masa Rasulullah SAW.lalu orang-orang berkata: Ya Rasulullah harga-harga menjadi mahal, tetapkanlah patokan harga untuk kami. Lalu Rasulullah SAW.bersabda: Sesungguhnya Allah lah yang menetapkan harga, yang menahan, dan membagikan rezeki. Dan sesungguhnya saya mengharapkan agar saya dapat berjumpa dengan Allah SWT.dalam keadaan tidak seorangpun diantara kamu sekalian yang menuntut saya karena kedzaliman dalam penumpahan darah (pembunuhan) dan harta. Diriwayatkan oleh perawi yang lima(selain An Nasa’I (Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah) serta dinilai shahih oleh Ibnu Hiban )
Para ulama yang berbeda pandangan tentang regulasi harga:
a. Ibnu Qudamah
“Didalamnya menunjukkan penentuan harga adalah mudzlim. Dan jika zhalim maka haram.” (aunul ma’bud), Ibnu Qudamah: memberikan dua alasan tidak diperkenankannya tas’ir.
1. Rasulullah tidak pernah menetapkan harga, meskipun penduduk menginginkan hal itu.
2. Regulasi harga Adalah sebuah ketidakadilan yang tidak dilarang. Ini melibatkan hak milik seseorang, didalamnya setiap orang memiliki hak untuk menjual pada harga berapapun, asal ia bersepakat dengan pembelinya, sesuai dengan Firman Allah SWT, dalam surat an-nisa aya 29:




Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (Q.S. An-Nisa:29)
b. Asy-Syaukani, berkata
Dan Sesungguhnya manusia berkuasa atas harga mereka, maka tas’ir adalah pembatasan bagi mereka. Imam dituntut untuk menjaga maslahat muslimin. Memperhatikan maslahat pembeli dengan menentukan harga rendah tidaklah lebih utama dari memperhatikan maslahat penjual dengan harga tinggi. Dan jika kedua perkara ini bertemu haruslah diserahkan kepada ijtihad mereka masing-masing. Adapun mewajibkan pemilik barang untuk menjual pada harga yang tidak ia ridhoi adalah bertentangan dengan firman Allah surat Annisa 29:



Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (Q.S. An-Nisa:29)
Ayat diatas menekankan harus adanya kerelaan kedua belah pihak dalam melakukan perniagaan atau diistilahkannya dengan ‘an taradhin minkum. Walaupun kerelaan adalah sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, tetapi indicator dan tanda-tandanya dapat dilihat. Ijab Kabul atau apa yang yang dikenal dalam adat kebiasaan sebagai serah terima adalah bentuk-bentuk yang digunkan hokum untuk menentukan kerelaan.
Dalam kondisi normal, semua ulama sepakat akan haramnya melakukan tas’ir, namun dalam kondisi ketidakadilan terdapat perbedaan pandangan ulama. Imam Malik dan sebagian syafiiyah memperbolehkan tas’ir dalam keadaan ghola’. Kontroversi antar para ulama berkisar dua poin: pertama. Jika terjadi harga yang tinggi di pasaran dan seseorang berusaha menetapkan harga yang lebih tinggi ketimbang harga sebenarnya, menurut madzhab maliki harus dihentikan. Tetapi, bila para penjual mau menjual di bawah harga pasar (ceiling price), dua macam pendapat: menurut syafi’I atau penganut Ahmad bin Hanbal mereka tetap menentang berbagai campur tangan pemerintah.
Ibnu Taimiyah menguji pendapat-pendapat dari keempat mazhab itu, juga pendapat beberapa ahli fiqih , sebelum memberikan pendapatnya tentang masalah itu. Menurutnya “kontroversi antar para ulama berkisar dua poin: Pertama, jika terjadi harga yang tinggi di pasaran dan seseorang berusaha menetapkan harga yang lebih tinggi dari pada harga sebenarnya, perbuatan mereka itu menurut mazhab Maliki harus dihentikan. Tetapi, bila para penjual mau menjual di bawah harga semestinya, dua macam pendapat dilaporkan dari dua pihak. Menurut Syafi’i dan penganut Ahmad bin Hanbal, seperti Abu Hafzal-Akbari, Qadi Abu ya’la dan lainnya, mereka tetap menentang berbagai campur tangan terhadap keadaan itu.
Kedua, dari perbedaan pendapat antar para ulama adalah penetapan harga maksimum bagi para penyalur barang dagangan (dalam kondisi normal), ketika mereka telah memenuhi kewajibannya. Inilah pendapat yang bertentangan dengan mayoritas para ulama, bahkan oleh Maliki sendiri. Tetapi beberapa ahli, seperti Sa’id bin Musayyib, Rabiah bin Abdul Rahman dan yahya bin sa’id, menyetujuinya. Para pengikut Abu Hanifah berkata bahwa otoritas harus menetapkan harga, hanya bila masyarakat menderita akibat peningkatan harga itu, di mana hak penduduk harus dilindungi dari kerugian yang diakibatkan olehnya.
Ibnu Taimiyah menafsirkan sabda Rasulullah SAW yang menolak penetapan harga, meskipun pengikutnya memintanya, “Itu adalah sebuah kasus khusus dan bukan aturan umum. Itu bukan merupakan merupakan laporan bahwa seseorang tidak boleh menjual atau melakukan sesuatu yang wajib dilakukan atau menetapkan harga melebihi konpensasi yang ekuivalen.
Ia membuktikan bahwa Rasulullah SAW sendiri menetapkan harga yang adil, jika terjadi perselisihan antara dua orang. Kondisi pertama, ketika dalam kasus pembebasan budaknya sendiri, Ia mendekritkan bahwa harga yang adil (qimah al-adl) dari budak itu harus di pertimbangkan tanpa ada tambahan atau pengurangan (lawakasa wa la shatata) dan setiap orang harus diberi bagian dan budak itu harus dibebaskan.
Kondisi kedua, dilaporkan ketika terjadi perselisihan antara dua orang, satu pihak memiliki pohon, yang sebagian tumbuh di tanah orang lain, pemilik tanah menemukan adanya bagian pohon yang tumbuh di atas tanahnya, yang dirasa mengganggunya. Ia mengajukan masalah itu kepada Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan pemilik pohon untuk menjual pohon itu kepada pemilik tanah dan menerima konpensasi atau ganti rugi yang adil kepadanya. Orang itu ternyata tak melakukan apa-apa. Kemudian Rasulullah SAW membolehkan pemilik tanah untuk menebang pohon tersebut dan ia memberikan konpensasi harganya kepada pemilik pohon. Ibnu Taimiyah menjelasklan bahwa “jika harga itu bisa ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan satu orang saja, pastilah akan lebih logis kalau hal itu ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan publik atas produk makanan, pakaian dan perumahan, karena kebutuhan umum itu jauh lebih penting dari pada kebutuhan seorang individu.
Salah satu alasan lagi mengapa Rasulullah SAW menolak menetapkan harga adalah “pada waktu itu, di Madinah, tak ada kelompok yang secara khusus hanya menyadi pedagang. Para penjual dan pedagang merupakan orang yang sama, satu sama lain (min jins wahid). Tak seorang pun bisa dipaksa untuk menjual sesuatu. Karena penjualnya tak bisa diidentifikasi secara khusus. Kepada siapa penetapan itu akan dipaksakan??(Taimiyah, 1983: 51). Itu sebabnya penetapan harga hanya mungkin dilakukan jika diketahui secara persis ada kelompok yang melakukan perdagangan dan bisnis melakukan manipulasi sehingga berakibat menaikkan harga. Ketiadaan kondisi ini, tak ada alasan yang bisa digunakan untuk menetapkan harga. Sebab, itu tak bisa dikatakan pada seseorang yang tak berfungsi sebagai suplaier, sebab tak akan berarti apa-apa atau tak akan adil. Argumentasi terakhir ini tampaknya lebih realistis untuk dipahami.
Menurut Ibnu Taimiyah, barang barang yang dijual di Madinah sebagian besar berasal dari impor. Kondisi apapun yang dilakukan terhadap barang itu, akan bisa menyebabkan timbulnya kekurangan suplai dan memperburuk situasi. Jadi, Rasulullah SAW menghargai kegiatan impor tadi, dengan mengatakan, “Seseorang yang mambawa barang yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari, siapapun yang menghalanginya sangat dilarang.?Faktanya saat itu penduduk madinah tidak memerlukan penetapan harga
Dari keterangan di atas, tampak sekali bahwa penetapan harga hanya dianjurkan bila para pemegang stok barang atau para perantara di kawasan itu berusaha menaikkan harga. Jika seluruh kebutuhan menggantungkan dari suplai impor, dikhawatirkan penetapan harga akan menghentikan kegiatan impor itu. Karena itu, lebih baik tidak menetapkan harga, tetapi membiarkan penduduk meningkatkan suplai dari barang-barang dagangan yang dibutuhkan, sehingga menguntungkan kedua belah pihak.Tak membatasi impor, dapat diharapkan bisa meningkatkan suplai dan menurunkan harga.
4. Pentingnya Regulasi Harga
Ibnu Taimiyah membedakan dua tipe penetapan harga: tak adil dan tak sah, serta adil dan sah. Penetapan harga yang “tak adil dan tak sah?berlaku atas naiknya harga akibat kompetisi kekuatan pasar yang bebas, yang mengakibatkan terjadinya kekurangan suplai atau menaikkan permintaan. Ibnu Taimiyah sering menyebut beberapa syarat dari kompetisi yang sempurna. Misalnya, ia menyatakan, “Memaksa penduduk menjual barang-barang dagangan tanpa ada dasar kewajiban untuk menjual, merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan itu dilarang.?Ini berarti, penduduk memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memasuki atau keluar dari pasar. Ibnu Taimiyah mendukung pengesampingan elemen monopolistik dari pasar dan karena itu ia menentang kolusi apapun antara orang-orang profesional atau kelompok para penjual dan pembeli. Ia menekankan pengetahuan tentang pasar dan barang dagangan serta transaksi penjualan dan pembelian berdasar persetujuan bersama dan persetujuan itu memerlukan pengetahuan dan saling pengertian.
Dalam penetapan harga, pembedaan harus dibuat antara pedagang lokal yang memiliki stok barang dengan pemasok luar yang memasukkan barang itu. Tidak boleh ada penetapan harga atas barang dagangan milik pemasok luar. Tetapi, mereka bisa diminta untuk menjual, seperti rekanan importir mereka menjual. Pengawasan atas harga akan berakibat merugikan terhadap pasokan barang-barang impor, di mana sebenarnya secara lokal tak membutuhkan kontrol atas harga barang karena akan merugikan para pembeli. Dalam kasus harga barang di masa darurat (bahaya kelaparan, perang, dan sebagainya), bahkan ahli ekonomi modern pun menerima kebijakan regulasi harga akan berhasil efektif dan sukses dalam kondisi seperti itu.


5. Musyawarah untuk Regulasi Harga
Dalam hubungannya dengan masalah ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan pendahulunya, Ibnu Habib, menurutnya, Imam (kepala pemerintahan), harus menjalankan musyawarah dengan para tokoh perwakilan dari pasar (wujuh ahl al-suq), sesuai dengan qaidah fiqih:

Kebijakan seorang imam terhadap kepimpinannya adalah semata-mata untuk kemaslahatan umat.
Pihak lain juga diterima hadir dalam musyawarah ini, karena mereka harus juga dimintai keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang pelaksanaan jual beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung oleh peserta musyawarah, juga seluruh penduduk. Jadi, keseluruhannya harus bersepakat tentang hal itu, harga itu tak boleh ditetapkan tanpa persetujuan dan izin mereka.
Ibnu Taimiyah menegaskan secara jelas kerugian dan bahaya dari penetapan harga yang sewenang-wenang, tak akan memperoleh dukungan secara populer. Misalnya, akan muncul pasar gelap atau pasar abu-abu atau manipulasi kualitas barang yang dijual pada tingkat harga yang ditetapkan itu. Ketakutan seperti itu dinyatakan juga oleh Ibnu Qudamah. Bahaya yang sama, juga banyak dibahas oleh ahli-ahli ekonomi modern, karena itu disangsikan lagi, bahaya ini harus ditekan, kalau bisa dihilangkan sama sekali. Harga itu perlu ditetapkan melalui musyawarah bersama dan diciptakan oleh rasa kewajiban moral serta pengabdian untuk kepentingan umum.

C. Peraturan Perundang-undangan tentang Pasar
1. Peraturan Persiden No.112 tahun 2007
Tanggal 27 Desember 2007, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No 112 Tahun 2007 mengenai penataan dan pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Setelah ditunda berkali-kali dan konon terjadi tarik ulur antara berbagai pihak yang berkepentingan dengan peraturan ini, akhirnya peraturan ini terbit juga.
2. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1962 tanggal 3 Agustus 1962 tentang Pengendalian Harga

BAB III
KESIMPULAN

Dalam rangka melindungi hak pembeli dan penjual, Islam membolehkan bahkan mewajibkan melakukan intervensi harga. Ada beberapa faktor yang membolehkan intervensi harga antara lain:
a. Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat yaitu melindungi penjual dalam hal profit margin sekaligus pembeli dalam hal purchasing power
b. Jika harga tidak ditetapkan ketikapenjual menjual dengan harga tinggi sehingga merugikan pembeli. Intervensi harga mencegah terjadinya ikhtikar atau ghaban faa-hisy
c. Intervensi harga melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas karena pembeli biasanya mewakili masyarakat yang lebih luas, sedangkan penjual mewakili kelompok yang lebih kecil.
Suatu intervensi harga dianggap zalim apabila harga maksimum (ceiling price) ditetapkan di bawah harga keseimbangan yang terjadi melalui makanisme pasar yaitu atas dasar rela sama rela. Tak seorang pun diperbolehkan menetapkan harga lebih tinggi atau lebih rendah ketimbang harga yang ada. Penetapan harga yang lebih tinggi akan menghasilkan eksploitasi atas kebutuhan penduduk dan penetapan harga yang lebih rendah akan merugikan penjual. Secara paralel dapat dikatakan bahwa harga minimum yang ditetapkan di atas harga keseimbangan kompetitif adalah zalim.

DAFTAR PUSTAKA



As Shan’ani, Subulus Salam III, Penterjemah Drs. Abu Bakar Muhammad, Surabaya, Al-Ikhlas,1995
Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, dari Masa Klasik hingga Kontemporer, Granada Press, Jakarta, 2007
Asmuni Mth, Penetapan Harga dalam Islam: Prespektif Piqih dan Ekonomi, Yogyakrta, MSI-UII Net, 2005
Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islam, III T Indonesia, Jakarta, 2003
Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Temporer, Gema Insani, Jakarta, 2001
Shihab, M. Quraisy, Tafsir al-Misbah, Pesan dan Keserasian al-Quran, Lentera Hati, Jakarta, 2002
Winardi, Kamus Ekonomi (Inggris – Indonesia), Jakarta, Alumni, 1996

2 komentar:

De Nature Herb Medicine Number 1 mengatakan...

obat alami kondiloma akuminata

obat alami kutil di kemaluan

obat untuk kutil di kemaluan kutil di daerah kemaluan

obat kutil pada kelamin kumpulan

obat kutil di kemaluan 

obat virus condyloma

obat tradisional condyloma

obat salep condyloma

www.anabaptistblog.blogspot.com


Ridwan Gunawan mengatakan...

Makaish infonya

Bagi yang memiliki online shop dan ingin membuat website toko online lengkap, desain menarik, gratis penyebaran, SEO, Backlink, agar usaha nya mudah ditemukan banyak pembeli di internet, silahkan klik Jasa Pembuatan Website Toko Online Murah

Pusat Penjualan Hijab Jilbab Kerudung Terbaru harga termurah di Indonsia : Grosir Jilbab Murah di Indonesia.